Gedung kesenian Jakarta , 11 Mei 2016

Adalah Pergelaran Tari Keraton dalam rangka HUT PCSN ke-III dengan tema Bercermin Pada Sejarah; artinya bahwa semangat untuk menggali kearifan masa lalu masih sangat diperlukan dalam konteks masa kini terutama untuk dijadikan cermin dan landasan membangun masa depan. Rangkaian acara HUT PCSN yang Ke-III di tutup dengan pergelaran akbar Langen Beksa Adiluhung Keraton Nusantara yang diselenggarakan di gedung Kesenian Jakarta.

1. Bedhaya Duradasih

Bedhaya Duradasih

Bedhaya Duradasih adalah karya putera mahkota Kerajaan Surakarta bernama Pangeran Arya Adipati Amengkunagara – Beliau kelak dinobatkan sebagai raja Surakarta sebagai SISKS. Paku Buwono IV – yang terinspirasi dari kisah asmaranya dengan puteri Adipati Cakraningrat dari Pulau Madura. Duradasih berasal dari kata dura dan asih. Dura kependekan dari kata Madura. Asih artinya cinta. Duradasih dalam bahasa Jawa bisa juga berarti ‘impian yang menjadi kenyataan.Ciri umum bedhaya Duradasih selalu ditarikan oleh sembilan orang penari putri dengan kualitas gerak halus dan cenderung lembut yang merupakan simbol dari formasi arah mata angin atau juga sembilan organ vital tubuh manusia. Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari yang sembilan orang merupakan lambang dari Sembilan Wali atau Wali Songo.

2. Srimpi Pandhelori

Srimpi Pandhelori

Beksan Srimpi Pandhelori ini merupakan karya seni Hadiluhung dan termasuk kategori Tari Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tarian ini termasuk tarian sakral, karena pada awalnya memang tidak sembarangan waktu dipentaskan di Kraton, terkait dengan kelengkapan sarana dan prasarana upacara ritual adat di dalam lingkungan Istana Kraton. Tema Beksan “Srimpi Pandhelori” diambil dari epos Carios Menak yang mengisahkan cerita dari Persi atau Arab. yang menceritakan tentang perang tanding antara Dewi Kadarwati dari negara Koparman melawan Dyah Ayu Ngumyun Madikin seorang putri dari negara Ngambarkustup. Keduanya sama sama tangguh dan sakti (sami kaprawiranipun), pada akhir cerita kemudian mereka lembut yang merupakan simbol dari formasi arah mata angin atau juga sembilan organ vital tubuh manusia. Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari yang sembilan orang merupakan lambang dari Sembilan Wali atau Wali Songo.

3. Bedhaya Kakung Diradameta

Bedhaya Kakung Diradameta

Bedhaya Senopaten Diradameta merupakan salah satu monument perjuangan R.M. Said (Pangeran Sambernyawa) yang mengungkapkan peristiwa peperangan Laskar Pangeran Sambernyawa melawan pasukan Kompeni di hutan Sitakepyak sebelah Selatan kota Rembang. Nama Diradametamengungkapan sepak terjang Pangeran Sambernyawa beserta para prajuritnya dalam menghadapi serangan dan kepungan pasukan Belanda, yang diibaratkan bagai ‘gajah mengamuk’ (dirada=gajah, meta=mengamuk, Jw). Upaya rekonstruksi tari bedhaya ini dilakukan pada tahun 2006 selama sekitar satu tahun. Rekonstruksi Tari dipercayakan kepada Daryono dan Hartanto, sedangkan rekonstruksi Karawitan Tari dipercayakan kepada Wahyu Santosa Prabowo. Tari ini disajikan oleh 7 orang penari putra dengan garap gerak tari ‘alus’ gaya Mangkunagaran. Tari bedhaya Diradametamenggunakan properti tari berupa tombak dan gendhewa-panah. Adapun disain kostum mengenakan ‘dodot ageng’.

4. Lelangen Beksan Pitutur Jati

Lelangen Beksan Pitutur Jati

Lelangen Beksan Pitutur Jati merupakan penggalian kearifan nilai-nilai kultural dari kedalaman gagasan yang tertuang di dalam naskah Piwulang Estri dan Langen Wibawa. Piwulang Estri yang berasal dari masa K.G.P.A.A. Paku Alam II (1829 — 1858) berisi piwulang atau ajaran dan nasehat berperilaku yang elok bagi para perempuan. Ajaran dan nasehat ini tidak hanya berlaku bagi para perempuan, tetapi relevan bagi masyarakat pada umumnya sampai sekarang. Langen Wibawa yang berasal dari masa K.G.P.A.A. Paku Alam IV (1864-1878) dan K.G.P.A.A. Paku Alam V (1878-1900) memuat penggalan catatan tari yang juga sarat dengan makna. Interpretasi terhadap naskah sesuai perkenan dan arahan K.G.P.A.A. Paku Alam IX (Alm). Penataannya disarankan untuk tidak mengabaikan estetika seturut perkembangan zaman namun tetap dalam bingkai tradisi setempat sebagaimana dikuatkan oleh K.G.P.A.A. Paku Alam X dan G.K.B.R.Ay.A. Paku Alam X serta kerabat yang lain, seperti, K.P.H. Indrokusumo dan B.R.Ay. Dyah S. Indrokusumo.

5. Legong Keraton

Legong Keraton

Legong Keraton adalah salah satu tari tradisi Bali klasik yang sangat memukau. Tarian ini khas dengan busana keemasan dengan dua rangkaian (bancangan) bunga pada mahkotanya yang bergetar pada setiap gerakan kepala dan bahu. Bagian yang sangat bermakna pada tari Legong adalah Kipas dan Lamak. Lamak juga berarti alas sesajian dalam upacara, maka selain bersifat dekoratif, Lamak juga menunjukkan bahwa tari Legong, walaupun non-sakral, tetap adalah sesajian atau mengungkap rasa syukur atas anugrahNya. Legong Kuntir terinspirasi cerita Ramayana. Dua kakak beradik, Arya Bang dan Arya Kuning, berebut sebuah Cupu yang dilemparkan ayahandanya, seorang Resi, ke kolam. Mereka terlibat perkelahian sengit tanpa hasil dan akhirnya berdamai kembali. Namun, saat mereka keluar dari dasar kolam wajah keduanya berubah menjadi kera dan sejak itu mereka bernama Subali dan Sugriwa.

6. Bedhaya Pangkur

Bedhaya Pangkur

Bedhaya Pangkur adalah sebuah genre tari adiluhung yang lahir dari tradisi tari klasik di lingkungan keraton di Jawa. Jenis tarian bedhaya dianggap sakral karena memuat nilai-nilai simbolik dan falsafah yang tinggi. Bedhaya Pangkur merupakan karya cipta S.I.S.K.S. Paku Buwono IV. Tarian ini sudah berusia lebih dari 200 tahun. Tari Bedhaya Pangkur adalah tarian sakral yang mengungkapkan tentang keseimbangan hawa nafsu dan akal manusia. Ditarikan oleh sembilan penari yang merupakan manifestasi dari pengendalian hawa nafsu manusia. Gerakan tari Bedhaya Pangkur mempunyai gerakan mengalir lembut, dengan iringan Gendhing Pangkur.

7. Beksan Menak Putri

Beksan Menak Putri

Beksan Golek Menak merupakan karya agung Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang diciptakan pada tahun 1940. Tarian ini terinspirasi saat Sri Sultan menyaksikan pertunjukan wayang golek yang terbuat dari boneka kayu dengan kostum khas, mengangkat cerita Menak di daerah Kedu. Beliau kemudian memerintahkan K.P.H. Purbaningrat untuk mentransformasikan gerakan patah-patah-indah boneka tersebut dalam sebuah tarian yang dibawakan oleh manusia. Pertama kali dipentaskan di Tratak Bangsal Kencono Kraton Ngayogyakarta, pada acara Wiyosandalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX, tahun 1943.Tari Menak Putri dengan lakon Sudoroweri-Sirtupelaeli ini bersumber dari Serat Menak yang mengisahkan Hikayat Amir Hamzah (Amir Ambyah / Wong Agung Jayengrono), yang berkisar pada kepahlawanannya yang diselingi dengan cerita roman percintaan.

Adalah Pergelaran Tari Karaton dalam rangka HUT PCSN ke-4 masih dengan tema Bercermin Pada Sejarah; dalam rangka mengukuhkan semangat untuk kembali menggali kearifan masa lalu sebagai cermin dan landasan membangun masa depan. Rangkaian acara HUT PCSN yang Ke IV di Jakarta dan di Puri Agung Karangasem Bali ini akan memberikan nilai tambah bagi eksistensi, peran dan fungsi PCSN dalam rangka ikut membangun jati diri bangsa.

8. Wirèng Srikandhi-Bhisma

Wirèng Srikandhi-Bhisma

Wirèng Srikandhi-Bhisma diciptakan pada tahun 2007 oleh Mas Ngabèhi Daryono Darmorejono, semasa G.P.H. Herwasto Kusomo (alm.) menjabat Pengageng Mandrapura Mangkunagaran. Tarian ini tercipta atas dasar keinginan Gusti Herwasto untuk menambah variasi genre wirèng (tari yang bertemakan keprajuritan. Istimewanya wireng ini adalah sebuah garap silang jenis yang belum per nah terjadi di Istana Mangkunagaran. Struktur tari terdiri atas, maju beksan, beksan , perang gendhing, perang mandras, tari kemenangan, dan mundur beksan. Pada bagian tertentu sesaat sebelum dan di sela-sela perangan pokok berlangsung, digarap tembang yang dilantunkan oleh masing-masing penari. Garapan tembang untuk menggantikan dialog diilhami oleh genre gaya Mangkunagaran yang sangat terkenal, yaitu Langendriyan (sejenis opera).Wireng Srikandhi–Bhisma bersumber dari epos Mahabharata, episode Bhisma Gugur. Kisah per temuan dua senopati agung, yaitu Srikandhi sebagai Senopati Pandawa dan Bhisma sebagai Senopati Kurawa. Konon, karena buah sumpahnya yang tulus, Bhisma tidak akan mati oleh senjata apa pun, kecuali ia telah merelakan kematiannya.Peperangan antar generasi kakek dan cucu itu jelas tidak berimbang. Srikandi selalu terdesak. Ketika ber langsung peperangan, mengejawantah arwah Dewi Amba, yang dalam peristiwa Sayembara Kasipura mati oleh panah Bhisma. Saat itu Amba berucap akan menjemput Bhisma bila suatu saat nanti Bhisma berperang melawan prajurit putri di medan Kurusetra.Sukma Bhisma meninggalkan raganya dan bersama-sama Dewi Amba menuju bahagia di swargaloka setelah panah sakti yang dilepaskan Srikandhi menembus dadanya.

9. Beksan Floret

Beksan Floret

Tari Beksan Floret ini menggambarkan kegagahan para prajurit dalam berlatih perang dengan menggunakan alat/senjata anggar jenis Floret. Gagasan karya tari ini ini berasal dari pengamatan Paku Alam IV ketika melihat opsir-opsir Belanda yang berlatih menggunakan Floret. Sejak pemerintahan K.G.P.A.A. Paku Alam VII tarian tersebut tidak pernah dipergelarkan. Setelah pemerintahan K.G.P.A.A. Paku Alam VIII tarian tersebut direkonstruksi oleh sebuah tim yang melibatkan narasumber dari Pura dan akademisi, sehingga berhasil dipergelarkan kembali. Keunikan Tari ini antara lain terlihat pada busana yang dikenakan yang mendapat inspirasi atau pengaruh dari pakaian prajurit Puro Pakualaman pada masa tersebut. Beksan Floret diiringi pathetan, gangsaran, ladrang Diradameta, gangsaran dan pathetan dalam laras slendro.

10. Legong Mintaraga

Legong Mintaraga

Legong Mintaraga adalah sebuah kreasi dramatari Legong yang unik. Menggabungkan tari Legong dengan Topeng dan Barong. Karya ini berangkat dari sebuah gagasan perlunya keteguhan hati untuk mengalahkan hawa nafsu duniawi, agar menjadi pemimpin yang baik. Tokoh utama dari Legong Mintaraga ini adalah Arjuna. Seorang pahlawan sejati dalam epos Mahabharata, epos yang digubah ribuan tahun yang lalu. Di alam modern, karakter Arjuna masih lekat di dalam pemikiran masyarakat. Karakter agung ini tidak lekang untuk masa kini, maupun masa depan.